Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tersenyumlah

Tersenyumlah!

Tertawa yang wajar itu laksana 'balsem' bagi kegalauan dan 'salep' bagi kesedihan. Pengaruhnya sangat kuat sekali untuk membuat jiwa bergembira dan hati berbahagia. Bahkan, karena itu Abu Darda' sempat berkata, "Sesungguhnya aku akan tertawa untuk membahagiakan hatiku. Dan Rasulullah s.a.w. sendiri sesekali tertawa bingga tampak gerahamnya. Begitulah tertawanya orang-orang yang berakal dan mengerti tentang penyakit jiwa serta pengobatannya."
Tertawa merupakan puncak kegemhiraan, titik tertinggi keceriaan, dan ujung rasa suka cita. Namun, yang demikian itu adalah tertawa yang tidak berlebihan sebagaimana dikatakan dalam pepatah, "Janganlah engkau banyak tertawa, sebab banyak tertawa itu mematikan bati." Yakni, tertawalah sewajarnya saja sebagaimana dikatakan juga dalam pepatah yang berbunyi, "Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah." Bahkan, tertawalah sebagaimana Nabi Sulaiman ketika,
{... ia tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu.}
(QS. An-Naml: 19),
Janganlah tertawa sinis dan sombong sebagaimana dilakukan orang- orang kafir,
{... tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat-mukjizat Kami dengan serta merta mereka menertawakannya.}
(QS. Az-Zukhruf: 47)
Dan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada penghuni surga adalah tertawa.
{Maka pada hari ini orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir.} (QS. Al-Muthaffifin: 34)
Orang Arab senang memuji orang yang murah senyum dan selalu tampak ceria. Menurut mereka, perangai yang demikian itu merupakan pertanda kelapangan dada, kedermawanan sifat, kemurahan hati, kewibawaan perangai, dan ketanggapan pikiran.
Wajah nan berseri tanda suka memberi, dan, tentu bersuka cita saat dipinta. Dalam kitab "Harim", Zuher bersyair,
kau melihatnya senantiasa gembira saat kau datang,
seolah engkau memberinya apa yang engkau minta padanya
Pada dasarnya, Islam sendiri dibangun atas dasar prinsip prinsip keseimbangan dan kemoderatan, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak maupun tingkah laku. Maka dari itu, Islam tak mengenal kemuraman yang menakutkan, dan tertawa lepas yang tak berarturan. Akan tetapi sebaliknya, Islam senantiasa mengajarkan kesungguhan yang penuh wibawa dan ringan langkah yang terarah.
Abu Tamam mengatakan,
"Demi jiwaku yang bapakku menebusnya untukku,
ia laksana pagi yang diharapkan dan bintang yang dinantikan. Canda kadang menjadi serius,
namun hidup tanpa canda jadi kering kerontang"

Muram durja dan muka masam adalah cermin dari jiwa yang galau, pikiran yang kacau, dan kepala yang rancau balau. Dan,
{Sesudah itu, dia bermuka masam dan merengut.}
(QS. Al-Muddatstsir: 22)
Wajah mereka cemberut karena sombong,
seolah mereka dilempar dengan paksa ke neraka. Tidak seperti kaum, yang bila kau jumpai bak bintang gemintang yang jadi petunjuk bagi pejalan malam. Sabda Rasulullah: "Meski engkau hanya menjumpai saudaramu dengan wajah berseri."
Dalam Faidhul Khathir, Ahmad Amin menjelaskan demikian: "Orang yang murah tersenyum dalam menjalani hidup ini bukan saja orang yang paling mampu membahagiakan diri sendiri, tetapi juga orang yang paling mampu berbuat, orang yang paling sanggup memikul tanggung jawab, or- ang yang paling tangguh menghadapi kesulitan dan memecahkan persoalan, serta orang yang paling dapat menciptakan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain."
Andai saja saya disuruh memilih antara harta yang banyak atau kedudukan yang tinggi dengan jiwa yang tenteram damai dan selalu tersenyum, pastilah aku memilih yang kedua. Sebab, apa artinya harta yang banyak bila wajah selalu cemberut? Apa artinya kedudukan bila jiwa selalu cemas? Apa artinya semua yang ada di dunia ini, bila perasaan selalu sedih seperti orang yang usai mengantar jenazah kekasihnya? Apa arti kecantikan seorang isteri jika selalu cemberut dan hanya membuat rumah tangga menjadi neraka saja? Tentu saja, seorang isteri yang tidak terlalu cantik akan seribu kali lebih baik jika dapat menjadikan rumah tangga senantiasa laksana surga yang menyejukkan setiap saat.
Senyuman tak akan ada harganya bila tidak terbit dari hati yang tulus dan tabiat dasar seorang manusia. Setiap bunga tersenyum, hutan tersenyum, sungai dan laut juga tersenyum. Langit, bintang-gemintang dan burung- burung, semuanya tersenyum. Dan manusia, sesuai watak dasarnya adalah makhluk yang suka tersenyum. Itu bila dalam dirinya tidak bercokol penyakit tamak, jahat, dan egoisme yang selalu membuat rona wajah tampak selalu kusut dan cemberut. Adapun bila ketiga hal itu meliputi seseorang, niscaya ia akan menjelma sebagai manusia yang selalu mengingkari keindahan alam semesta. Artinya, orang yang selalu bermuram durja dan pekat jiwanya tak akan pernah melihat keindahan dunia ini sedikitpun. Ia juga tak akan mampu melihat hakekat atau kebenaran dikarenakan kekotoran hatinya. Betapapun, setiap manusia akan melihat dunia ini melalui perbuatan, pikiran dan dorongan hidupnya. Yakni, bila amal perbuatannya baik, pikirannya bersih dan motivasi hidupnya suci, maka kacamata yang akan ia gunakan untuk melihat dunia ini pun akan bersih. Dan karena itu, ia akan melihat dunia ini tampak sangat indah mempesona. Namun, bila tidak demikian, maka kacamata yang akan ia gunakan melihat dunia ini adalah kacamata gelap yang membuat segala sesuatu di dunia ini tampak serba hitam dan pekat.
Ada jiwa-jiwa yang dapat membuat setiap hal terasa berat dan sengsara. Tapi, ada pula jiwa-jiwa yang mampu membuat setiap hal menjadi sumber kebahagiaan. Konon, ada seorang wanita yang di rumahnya selalu melihat segala sesuatu salah di matanya. Akibatnya, sepanjang hari ia merasa dalam gelap gulita; hanya karena sebuah piring pecah, makanan keasinan karena terlalu banyak garam, atau kakinya menginjak sobekan kertas di dalam kamar, ia sontak berteriak dan memaki siapa dan apa saja yang ada di rumahnya. Hal seperti ini sangat berbahaya sebagaiamana percikan api yang setiap saat siap melahap apa saja yang ada di depannya.
Ada pula seorang laki-laki yang acapkali membuat hidupnya dan or- ang-orang disekelilingnya terasa berat dan sengsara hanya dikarenakan dirinya salah dalam memahami atau mengartikan maksud perkataan orang lain, perkara atau kesalahan sepele yang terjadi pada dirinya, keuntungan kecil yang tak berhasil diraihnya, atau dikarenakan oleh sebuah keuntungan yang tidak sesuai dengan harapannya. Begitulah ia memandang dunia ini; semua terasa gelap. Ironisnya, ia pun akan membuat semua itu terasa gelap pula oleh orang lain di sekitarnya. Dan orang-orang seperti ini sangat mudah mendramatisir suatu keburukan; sebuah biji kesalahan ia besar-besarkan hingga tampak sebesar kubah, dan setangkai benih kesulitan dapat terasa seperti sebatang pohon kesengsaraan. Maka dari itu, mereka pun tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kebaikan. Mereka tidak pernah puas dan senang dengan sebanyak apapun pemberian yang pernah ia terima.
Hidup ini adalah seni bagaimana membuat sesuatu. Dan seni harus dipelajari serta ditekuni. Maka sangatlah baik bila manusia berusaha keras dan penuh kesungguhan mau belajar tentang bagaimana menghasilkan bunga-bunga, semerbak harum wewangian, dan kecintaan di dalam hidupnya. Itu lebih baik daripada ia terus menguras tenaga dan waktunya hanya untuk menimbun harta di saku atau gudangnya. Apalah arti hidup ini, bila hanya habis untuk mengumpulkan harta benda dan tak dimanfaatkan sedikitpun untuk meningkatkan kualitas kasih sayang, cinta, keindahan dalam hidup ini?

Banyak orang yang tidak mampu melihat indahnya kehidupan ini. Mereka hanya membuka matanya untuk dirham dan dinar semata. Maka, meskipun berjalan melewati sebuah taman yang rindang, bunga-bunga yang cantik mempesona, air jernih yang memancar deras, burung-burung yang berkicau riang, mereka sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Di mata dan pikirannya hanya ada uang —berapa yang masuk dan keluar hari itu— saja. Padahal, kalau dipikir lebih dalam, sebenarnya ia hams membuat uang itu menjadi sarana yang baik untuk membangun sebuah kehidupan yang bahagia. Tapi sayang, mereka justru membalikkan semuanya; mereka menjual kebahagiaan hidup hanya demi mendapatkan uang, dan bukan bagaimana membeli kebahagiaan hidup dengan uang. Struktur mata kita telah diciptakan sedemikian rupa dan unik agar kita dapat melihat keindahan. Namun, ternyata kita acapkali membiasakannya hanya untuk melihat uang dan uang.
Tidak ada yang membuat jiwa dan wajah menjadi demikian muram selain keputusasaan. Maka, jika Anda menginginkan senyuman, tersenyumlah terlebih dahulu dan perangilah keputusasaan. Percayalah, kesempatan itu selalu terbuka, kesuksesan selalu membuka pintunya untuk Anda dan untuk siapa saja. Karena itu, biasakan pikiran Anda agar selalu menatap harapan dan kebaikan di masa yang akan datang.
Jika Anda meyakini diri Anda diciptakan hanya untuk meraih hal-hal yang kecil, maka Anda pun hanya akan mendapatkan yang kecil-kecil saja dalam hidup ini. Tapi sebaliknya, bila Anda yakin bahwa diri Anda diciptakan untuk menggapai hal-hal yang besar, niscaya Anda akan memiliki semangat dan tekad yang besar yang akan mampu menghancurkan semua aral dan hambatan. Dengan semangat itu pula Anda akan dapat menembus setiap tembok penghalang dan memasuki lapangan kehidupan yang sangat luas untuk suatu tujuan yang mulia. Ini dapat kita saksikan dalam banyak kenyataan hidup. Barangsiapa ikut lomba lari seratus meter misalnya, ia akan merasa capek tatkala telah menyelesaikannya. Lain halnya dengan seorang peserta lomba lari empat ratus meter, ia belum merasa capek tatkala sudah menempuh jarak seratus atau dua ratus meter. Begitulah adanya, jiwa hanya akan memberikan kadar semangat sesuai dengan kadar atau tingkatan sesuatu yang akan dicapai seseorang. Maka, pikirkan setiap tujuan Anda. Dan jangan lupa, hendaklah tujuan Anda itu selalu yang tinggi dan sulit dicapai. Jangan pernah putus asa selama masih dapat mengayunkan kaki untuk menempuh langkah baru setiap harinya. Sebab, rasa putus asa, patah semangat, selalu berpandangan negatif terhadap segala sesuatu, suka mencari-cari aib dan kesalahan orang lain, dan besar mulut hanya akan menghambat langkah, menciptakan kemuraman; dan menempatkan jiwa di dalam sebuah penjara yang pengap.
Penerimaan seseorang terhadap suatu hal tidaklah sama dengan penerimaanya terhadap seorang pendidik yang telah berjasa mengembangkan dan mengarahkan bakat alamiahnya, meluaskan cakrawala pemikirannya, menanamkan kebiasaan ramah dan murah hati dalam dirinya, mengajarkan kepadanya bahwa sebaik-baik tujuan hidup adalah berusaha menjadi sumber kebaikan bagi masyarakatnya sesuai dengan kemampuannya, mengarahkannya agar senantiasa menjadi matahari yang memancarkan cahaya, kasih sayang dan kebaikan, dan yang telah menuntunnya agar memiliki hati yang penuh dengan empati, kasih sayang, rasa perikemanusiaan, serta merasa senang berbuat baik kepada siapa saja yang berhubungan dengannya.
Setiap kali melihat kesulitan, jiwa seseorang yang murah senyum justru akan menikmati kesulitan itu dengan memacu diri untuk mengalahkannya. Begitu ia memperlakukan suatu kesulitan; melihatnya lalu tersenyum, menyiasatinya lalu tersenyum, dan berusaha mengalahkannya lalu tersenyum. Berbeda dengan jiwa manusia yang selalu risau. Setiap kali menjumpai kesulitan, ia ingin segera meninggalkannya dan melihatnya sebagai sesuatu yang amat sangat besar dan memberatkan dirinya. Dan itulah yang acapkali menyebabkan semangat seseorang menurun dan asanya berkurang. Bahkan, tak jarang orang seperti ini berdalih dengan kata-kata "Seandainya ...," "Kalau saja ...," dan "Seharusnya ...." Orang seperti ini sangatlah nista. Bukan zaman yang mengutuknya, tapi dirinya dan pendidikan yang telah membesarkannya. Bagaimana tidak, ia menginginkan keberhasilan dalam menjalani kehidupan ini, tapi tanpa mau membayar ongkosnya. Orang seperti ini ibarat seseorang yang hendak berjalan tetapi selalu dibayangi oleh seekor singa yang siap menerkam dirinya dari belakang. Akibatnya, ia hanya menunggu langit menurunkan emasnya atau bumi mengeluarkan kandungan harta karunnya.
Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan ini merupakan perkara yang nisbi. Yakni, segala sesuatu akan terasa sulit bagi jiwa yang kerdil, tapi bagi jiwa yang besar tidak ada istilah kesulitan besar. Jiwa yang besar akan semakin besar karena mampu mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Sementara jiwa yang kecil akan semakin sakit, karena selalu menghindar dari kesulitan itu. Kesulitan itu ibarat anjing yang siap menggigit; ia akan menggonggong dan mengejar Anda bila Anda tampak ketakutan saat melihatnya. Sebaliknya, ia akan membiarkan Anda berlalu di hadapannya dengan tenang bila Anda tak menghiraukannya, atau Anda berani memelototinya.

Penyakit yang paling mematikan jiwa adalah rasa rendah diri. Penyakit ini dapat menghilangkan rasa percaya diri dan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya sendiri. Maka dari itu, meski berani melakukan suatu pekerjaan, ia tak akan pernah yakin dengan kemampuan dan keberhasilan dirinya. Ia juga melakukannya dengan tanpa perhitungan yang matang, dan akhirnya gagal. Percaya diri adalah sebuah karunia yang sangat besar. Ia merupakan tiang penyangga keberhasilan dalam kehidupan ini. Adalah sangat berbeda antara "percaya diri" dengan "terlalu percaya diri". Terlalu percaya diri merupakan perilaku negatif yang senantiasa membuat jiwa bergantung pada khayalan dan kesombongan semu. Sedangkan percaya diri merupakan hal positif yang akan mendorong setiap jiwa untuk bergantung pada kemampuannya sendiri dalam memikul suatu tanggung jawab. Dan karena itu, ia akan terdorong untuk senantiasai mengembangkan kemampuannya dan mempersiapkan diri dengan matang dalam menghadapi segala sesuatu.
Elia Abu Madhi berkata:
Orang berkata, "Langit selalu berduka dan mendung."
Tapi aku berkata, "Tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana." Orang berkata, "Masa muda telah berlalu dariku."
Tapi aku berkata, "Tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda tak kan pernah mengembalikannya"
Orang berkata, "Langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka.
Janji-janji telah mengkhianatiku ketika kalbu telah menguasainya. Bagaimana mungkin jiwaku sangggup mengembangkan senyum manisnya
Maka akupun berkata,"Tersenyum dan berdendanglah,
kala kau membandingkan semua umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya.
Orang berkata, "Perdagangan selalu penuh intrik dan penipuan, ia laksana musafir yang akan mati karena terserang rasa haus." Tapi aku berkata, "Tetaplah tersenyum, karena engkau akan mendapatkan penangkal dahagamu.
Cukuplah engkau tersenyum, karena mungkin hausmu akan sembuh dengan sendirinya.
Maka mengapa kau harus bersedih dengan dosa dan kesusahan orang lain,
apalagi sampai engkau seolah-olah yang melakukan dosa dan kesalahan itu?
Orang berkata, "Sekian hari raya telah tampak tanda-tandanya seakan memerintahkanku membeli pakaian dan boneka-boneka. Sedangkan aku punya kewajiban bagi teman-teman dan saudara, namun telapak tanganku tak memegang walau hanya satu dirham adanya
Ku katakan: Tersenyumlah, cukuplah bagi dirimu karena Anda masih hidup, dan engkau tidak kehilangan saudara-saudara dan kerabatyang kau cintai.
Orang berkata, " Malam memberiku minuman 'alqamah tersenyumlah, walaupun kau makan buah 'alqamah Mungkin saja orang lain yang melihatmu berdendang akan membuang semua kesedihan. Berdendanglah Apa kau kira dengan cemberut akan memperoleh dirham atau kau merugi karena menampakkan wajah berseri? Saudaraku, tak membahayakan bibirmu jika engkau mencium juga tak membahayakan jika wajahmu tampak indah berseri Tertawalah, sebab meteor-meteor langitjuga tertawa
mendung tertawa, karenanya kami mencintai bintang-bintang Orang berkata, "Wajah berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah. Ku katakan, "Tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum." Sungguh, kita sangat butuh pada senyuman, wajah yang selalu berseri, hati yang lapang, akhlak yang menawan, jiwa yang lembut, dan pembawaan yang tidak kasar. "Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian berendah hati, hingga tidak ada salah seorang di antaramu yang berlaku jahat pada yang lain dan tidak ada salah seorang di antaramu yang membanggakan diri atas yang lain." (Al-Hadits)

Posting Komentar untuk "Tersenyumlah"