Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Kebudayaan Islam Modern dan Kontemporer


Sekitar abad ke-18 Masehi, negara-negara barat yang sudah mapan mulai memasuki negara-negara Islam serta membangun dominasinya di berbagai jalur sehingga dapat menguasai beberapa aspek kehidupan ditengah masyarakat. Sejak saat itulah umat Islam mulai sadar betapa beratnya penderitaan di bawah penjajahan negara-negara barat.

Maka umat Islam mulai menginstropeksi diri dalam segala kehidupanya, baik dalam bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Kebangkitan dunia Islam dilatar belakangi oleh banyaknya negara Islam yang memberontak terhadap negara-negara barat melalui beberapa pemikiran serta dipacu oleh tokoh-tokoh pemuka Islam untuk memodernkan dunia Islam.

Dalam sejarahnya, perjalanan umat Islam dibagi beberapa periode, yaitu: periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), periode modern dan kontemporer (1800 Masehi-sekarang). Pada periode klasik Islam mengalami kemajuan karena pada masa itu terjadi ekspansip-intregasi dan masa keemasan Islam.

Pada masa itu pula lahir banyak para cendekiawan muslim yang memiliki berbagai macam keahlian ilmu pengetahuan dan filsafat. Pada periode pertengahan, Islam mulai mengalami kemunduran akibat adanya berbagai perpecahan dalam dunia Islam, disamping berbagai macam serangan dari negara-negara barat.

Berikut adalah sejarah kebudayaan Islam modern dan kontemporer selengkapnya.

Banyak aspek pendukung bagi perkembangan peradaban Islam modern dan kontemporer di kawasan Timur Tengah dan kawasan Timur, di antaranya adalah aspek budaya, aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik. Di antara negara-negara yang mengalami perkembangan peradaban dalam kategori modern dan kontemporer adalah Turki, India, Iran dan kawasan sekitarnya.

1. Kota Baghdad

Kota Baghdad didirikan oleh khalifah Abbasiah kedua yaitu Al Manshur (754-755 M), pada tahun 762 Masehi. Setelah mencari-cari daerah yang strategis untuk dijadikan sebagaiibu kota, pilihan jatuh pada daerah yang dinamakan Baghdad yang terletak tak jauh dari di sungai Tigris. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan mempelajari lokasi.

Setelah penelitian seksama dilakukan, daerah ini akhirnya ditetapkan sebagai ibu kota dan pembangunan pun di mulai. Dalam membangun kota ini, khalifah memperkerjakan banyak ahli bangunan yang terdiri dari arsitektur, tukang batu, tukang kayu, ahli lukis, dan lain-lain. Mereka didatangkan dari Syiria, Mosul, Bashrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100 ribu orang.

Kota ini berbentuk bundar. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi, di sebelah luar dinding tembok digali parit besar yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus sebagai benteng. Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini, yang disediakan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota.

Keempat pintu gerbang itu adalah bab al­kuffah, bab al­syam, bab al­bashrah, bab al­khurasan. Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah dengan seni arsitektur Persia. Istana ini terkenal dengan nama al­qashr al­dzahabi, yang berarti istana emas. Istana ini dilengkapi bangunan masjid, tempat pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah.

Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan dan jalan raya yang menghubungkan empat pintu gerbang. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai Kota Intelektual. Setelah masa Al Manshur, kota Baghdad menjadi semakin masyhur karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam. 

Banyak ilmuwan dari berbagai daerah datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan. Masa keemasan kota Baghdad terjadi pada zaman pemerintahan khalifah Harun al Rasyid (786-809) dan anaknya al Makmun (813-833 M). Dari kota inilah memancar sinar kebudayaan dan peradaban Islam ke seluruh dunia. Prestise politik, supremasi ekonomi, dan aktifitas intelektual merupakan tiga keistemewaan kota ini.

Kebesarannya tidak terbatas pada negeri Arab, tetapi meliputi seluruh negeri Islam. Baghdad ketika itu menjadi pusat peradaban Islam dan kebudayaan yang tertinggi di dunia. Ilmu pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat. Banyak buku filsafat yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Khalifah Al Ma’mun sendiri memiliki perpustakaan yang dipenuhi dengan ribuan buku ilmu pengetahuan. Perpustakaan itu bernama Bait Al­ Hikmah. Populasi penduduk Baghdad berada pada kisaran 300.000 hingga 500.000 pada abad ke-9 Masehi.

Pertumbuhan pesat Baghdad di masa-masa awal mulai melambat akibat persoalan kekhalifahan, termasuk pemindahan ibu kota ke Samarra (antara 808-819 dan 836-892), hilangnya provinsi-provinsi paling barat dan paling timur, dan masa dominasi politik oleh para Buwayhid Iran (945-1055) dan bangsa Turki Seljuk (1055-1135).

Panen yang rusak dan perselisihan intern membuat Baghdad runtuh. Meski begitu, kota ini tetap merupakan satu dari sekian banyak pusat kebudayaan dan perdagangan dunia Islam hingga pada 10 Februari 1258 ia dihancurkan oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.

Bangsa Mongol membunuh tak kurang dari 800.000 penduduk kota, termasuk Khalifah Abbasiyah al-Musta’sim, dan merusak sebagian besar kota. Kanal dan tanggul-tanggul yang membentuk sistem irigasi kota juga turut hancur. Perebutan Baghdad mengakhiri era kekhalifahan Abbasiyah, sebuah pukulan keras yang tak pernah dapat dipulihkan dalam peradaban Arab. Baghdad pun lalu dipimpin oleh Khanid, penguasa Iran berkebangsaan Mongol.

Pada tahun 1401, Baghdad dirusak kembali oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk (“Tamerlane”). Ia menjadi ibu kota provinsi yang dipimpin dinasti-dinasti Jalayirid (1400-1411), Qara Quyunlu (1411-1469), Aq Quyunlu (1469-1508), dan Safavid (1508-1534). Pada 1534, Baghdad direbut oleh bangsa Turki Ottoman.

Di bawah kekuasaan mereka, Baghdad mengalami masa-masa suram, di antaranya karena perselisihan antara penguasanya dengan Persia. Sebelumnya, Baghdad merupakan kota terbesar di Timur Tengah sebelum posisinya diambil alih Konstantinopel pada abad ke-16. Baghdad dikuasai oleh Kerajaan Ottoman hingga terbentuknya kerajaan Irak di bawah kekuasaan Britania Raya pada 1921, yang kemudian dilanjutkan dengan kemerdekaan resmi pada 1932 dan kemerdekaan penuh pada 1946.

Pengaruh Eropa ini juga mengubah wajah kota. Pada tahun 1920, Baghdad yang tumbuh dari lokasi tertutup seluas 254 mil persegi (657 km²) menjadi ibu kota negara baru Irak. Populasi penduduk kota Baghdad tumbuh dari sekitar 145.000 pada 1900 menjadi 580.000 pada 1950. Pada tahun 1970-an, Baghdad sempat mengalami masa kemakmuran dan pertumbuhan karena tajamnya kenaikan harga minyak, ekspor utama Irak.

Infrastruktur baru dibangun pada saat itu termasuk saluran pembuangan modern, air, dan jalan tol. Dalam bidang sastra, kota Baghdad terkenal dengan hasil karya yang indah dan digemari orang. Di antara karya sastra yang terkenal ialah Alfu Lailah wa Lailah, atau kisah seribu satu malam.

Di kota Baghdad ini lahir dan muncul para saintis, ulama, filosof, dan sastrawan Islam yang terkenal, seperti al Khawarizm (ahli astronomi dan matematika, penemu teori al Jabar), al Kindi (filosof Arab pertama), al Razi (filosof, ahli fisika dan kedokteran), al Farabi (filosof besar yang dijuluki dengan al­mu’allim al­tsani, guru kedua setelah Aristoteles).

Dalam bidang ekonomi, perkembangannya berjalan seiring dengan perkembangan politik. Pada zaman Harun al Rasyid dan al Makmun, perdagangan dan industri berkembang pesat. Kehidupan ekonomi kota ini didukung oleh tiga buah pelabuhan yang ramai dikunjungi para kafilah dari dunia internasional (China, India, Asia Tengah, Syiria, Persia).

2. Kota Kairo (Mesir)

Kota Kairo dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 Hijriyah / 969 Masehi oleh panglima perang dinasti Fathimiah, Jawhar al Siqili, atas perintah khalifah Fathimiah, al Mu’izz li Dienillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti tersebut. Wilayah kekuasaan dinasti Fathimiah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syiria. Berdirinya kota Kairo sebagai ibu kota kerajaan dinasti ini membuat Baghdad mendapat saingan.

Setelah pembangunan kota Kairo selesai lengkap dengan istananya, al Siqili mendirikan masjid al-Azhar pada 17 Ramadhan 359 H (970 Masehi). Masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah. Nama al Azhar diambil dari al Zahra’ Julukan Fatimah, puteri nabi Muhammad yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib.

Kota yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa Dinasti Fathimiah, masa Shalahuddin al Ayyubi, dan masa di bawah kepemimpinan Baybars dan al Nasyir pada masa dinasti Mamalik.

Periode Fathimiah ini dimulai dengan al-Mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, al Aziz. Al Mu’izz melaksanakan tiga kebijakan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama. Dalam bidang administrasi, ia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.

Dalam bidang ekonomi, ia member gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga peradilan, dua untuk madzhab Syi’ah dan dua untuk madzhab Sunni. Al Azis kemudian mengadakan program baru dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal baru.

Dinasti Fathimiah ditumbangkan oleh dinasti Ayyubiah yang didirikan oleh Shalahuddin, seorang pahlawan Islam terkenal dalam Perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fathimiyyah. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkpi dengan tempat belajar teologi dan hukum.

Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya adalah kamus-kamus biografi, compendium sejarah, manual hukum, dan komentar-komentar teologi. Ilmu kedokteran diajarkan di rumah-rumah sakit. Prestasinya yang lain adalah di dirikannya sebuah rumah sakit bagi orang cacat pikiran.

3. Kota Ishfahan (Persia)

Ishfahan adalah kota terkenal di Persia, pernah menjadi ibu kota kerajaan Syafawiyah. Persia memiliki ciri-ciri kebudayaan seperti arsitektur dan kesenian yang sangat khas sehingga mampu digunakan sebagai alat dalam penyebaran serta pengembangan agama Islam pada periode Islam modern dan kontemporer.

Pengelompokkan keagamaan di Persia banyak mendapat perhatian dari pihak Arab karena sistematika pengelompokannya sangat baik dan praktis dengan menggunakan dua corak kehidupan, Syiah dan Sunni. Ketika raja dinasti Syafawi, Abbas 1, menjadikan Ishfahan sebagai ibu kota kerajaan, kota ini menjadi kota yang luas dan ramai dengan penduduk.

Kota ini terletak di atas sungai Zandah. Di atas sungai ini terbentang tiga buah jembatan yang megah dan indah, satu diantaranya terletak di tengah kota. Sementara dua lainnya di pinggiran kota. Kota ini, ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Syafawi, dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tanah dengan delapan buah pintu.

Di dalam kota banyak berdiri bangunan, seperti istana-istana, sekolah-sekolah, masjid-masjid, menara-menara, pasar, dan rumah-rumah yang indah, terukir rapi dengan warna-warna yang menarik. Masjid Syah yang masih ada sampai sekarang yang didirikan oleh Abbas 1, merupakan salah satu masjid terindah di dunia. Pintunya dilapisi dengan perak.

4. Kota Turki

Pada tahun 2000 muncul cendikiawan muslim yang bernama Harun Yahya yang mampu melakukan perlawanan terhadap sekularisme melalui beberapa pemikiran dan dalam bidang yang lain. Ini merupakan fenomena baru bagi penduduk Turki dalam abad modern dan kontemporer.

Dalam aspek budaya dan sosial, kawasan Turki banyak dihuni oleh suku Kurdi yang sering melakukan pemberontakan terhadap kebijakan publik karena perbedaan pemahaman dalam bidang agama. Dalam aspek agama, masyarakat Turki mampu berkembang dan mengembangkan ajaran Islam karena memiliki dua madzhab dalam memahami ajaran Islam, yaitu madzhab Sunni dan Syi’ah.

Masing masing dari madzhab tersebut memiliki pemimpin dan bergerak dalam bidangnya masing-masing tanpa mengganggu aktivitas di antara keduanya. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan kaisar turki yang membagi daerah penyebaran masing-masing. Dalam hal arsitektur, masjid-masjid yang dibangun di sana membuktikan kemajuannya.

Masjid memang merupakan suatu ciri dari sebuah kota Islam, tempat kaum muslimin mendapat fasilitas lengkap untuk menjalankan kewajiban agamanya. Masjid-masjid yang mempunyai arsitektur indah adalah Masjid Agung Al Muhammadi atau Masjid Agung Sultan Muhammad Al Fatih, Masjid Abu Ayyub Al Anshari (tempat pelantikan para sultan utsmani). Masjid Bayajid dengan gaya Persia dan masjid Sulaiman al Qanuni.

Itulah pembahasan tentang sejarah kebudayaan Islam modern dan kontemporer.
Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Sejarah Kebudayaan Islam Modern dan Kontemporer"